Tag
Banjarmasin, bekantan, Kalimantan Selatan, nasalis larvatus, pohon rambai, pulau kaget, sungai Barito
Aku bukan seorang wildlifer(begitu ya istilahnya :p), sehingga momen untuk melihat hewan langka langsung di habitat aslinya hampir tidak pernah kulakukan. Meski demikian, jika kesempatan itu datang, dan waktu serta situasi dan kondisi memungkinkan, tentu saja pantang ditolak. Nah jadilah akhirnya aku menelusuri anak-anak sungai Barito dipedalaman yang sunyi untuk berburu kera langka Bekantan (Nasalis Larvatus) bersama beberapa orang fotografer lain.
Subuh kami telah bersiap-siap. Perjalanan di mulai dari dermaga perahu depan gedung Walikota Banjarmasin. Alat transportasi kami adalah kelotok kecil (perahu bermotor) dengan penumpang 6 orang. Tujuan kami adalah Pulau Kaget, dekat muara sungai Barito. Pulau Kaget terkenal sebagai salah satu habitat dari kera tersebut.
Kelotok yang kami tumpangi jalannya cukup cepat, terombang ambing menembus suasana pagi. Pertama-tama kami menelusuri sungai Martapura, kemudian memasuki beberapa sungai kecil anak sungai Barito yang kiri-kanannya cukup padat dengan perumahan penduduk. Kehidupan warga tradisional Banjarmasin dipinggir sungai seakan memberikan romantisme tersendiri. Berulang-ulang kelotok kami melewati jembatan-jembatan kecil.
Memasuki alur utama sungai Barito, baru terasa luasnya sungai ini. Dari ujung ke ujung daratan terlihat sangat kecil, lebih mirip laut. Tongkang-tongkang batubara lalu lalang dengan muatan menggunung. Percikan air kelotok yang melaju, ditambah hari yang sedikit gerimis memaksa kami menarik terpal untuk melindungi diri serta peralatan fotografi yang dibawa.
Ohya, mengenai peralatan fotografi, terus terang lensa 70-300 mm yang saya bawa kali ini, untuk kebutuhan sehari-hari sudah sangat memadai, namun untuk mengabadikan kehidupan hewan liar yang sangat sukar didekati tentu akan terasa kurang. Ditambah cuaca yang masih gelap, peralatan yang memadai (juga berarti peralatan yang mahal) tentu akan sangat membantu. Saran saya, jika ingin melakukan hunting seperti ini, bawalah kamera dengan kadar noise yang rendah, sehingga dapat menggunakan ISO yang tinggi. Untuk lensa, kalau bisa bawalah lensa minimal 400 mm atau yang 200mm dengan converter 2x pembesaran.
Kembali keperjalanan, setelah lebih satu jam, kami mendekati Pulau Kaget. Kelotok mulai menepi. Kami memperhatikan dahan-dahan pohon, mengharapkan melihat gerakan-gerakan dari hewan yang kami cari. Bekantan adalah hewan yang sangat pemalu, sehingga sukar didekati. Dalam jarak 50 meter, mereka sudah pasti siaga mendengar suara mesin kelotok. Karena itu mesin pun kami matikan, diganti dengan dayung. Setelah menunggu sekian lama, tiada gerakan apapun yang terlihat. Rasa kecewa akhirnya terlihat dari wajah kami. Mungkin karena terletak tepat di jalur padat lalu lintas sungai, Pulau Kaget sudah terlalu ribut bagi kera bekantan, sehingga mereka mencari lokasi lain lebih di pedalaman.
Kami memutuskan untuk mencoba lebih jauh masuk ke anak-anak sungai yang lebih kecil. Sambil bertanya ke beberapa penduduk lokal, akhirnya kami mendapat petunjuk yang lumayan menjanjikan. Masuk lebih jauh kepedalaman, yang kami temui benar-benar rerimbunan pepohonan, bukan lagi perumahan penduduk. Kesunyian melanda, hanya suara binatang-binatang hutan yang terdengar.
Tiba-tiba diatas langit melesat sebuah bayangan. Seekor raja udang (kingfisher) biru melintasi kami, berburu makanan disungai. Indah sekali bulunya. Akhirnya keterbatasan lensa menjadi sangat terasa karena aku hanya dapat memoto burung ini dari kejauhan. Ya sudah, daripada kesempatan terlewat begitu saja, peralatan yang ada dengan segala keterbatasannya dimaksimalkan sebisa mungkin.
Setelah diperhatikan, ternyata burung raja udang cukup banyak disini. Melihat ini harapan kami kembali memuncak. Karena kondisi alamnya yang masih cukup terjaga, besar harapan kami untuk menemukan berbagai hewan lain, dan terutama tentu saja kera bekantan.
Masuk lebih dalam, terlihat rimbun pohon rambai. Daun pohon rambai adalah makanan kera bekantan. Mesin kelotok pun kembali dimatikan. Mata mengawasi dahan-dahan pohon rambai. Pepohonan terlihat sehat, dengan dedaunan yang masih lebat.
Gerakan itu terlihat tiba-tiba. Bulu coklat keemasan itu akhirnya terlihat. Kera Bekantan!! Bergelayutan di dahan-dahan pohon. Muka kami sumringah. Peralatan langsung kami siapkan. Suprise, ternyata kami menemukan kawanan bekantan yang jumlahnya cukup besar dan lengkap. Dari bayi-bayi yang begelayut di tubuh ibunya, hingga kera bekantan dewasa dengan idung yang besar dan perut yang gendut. Kami tak bisa bergerak lebih dekat. Kami juga tidak langsung mengeluarkan moncong lensa kamera. Membiarkan kera-kera itu terbiasa dengan kehadiran kami, itulah yang pertama dilakukan. Kami hanya diam di kelotok, mengawasi, tidak bersuara dan menimbulkan gerakan mendadak.
Akhirnya setelah menganggap kehadiran sekelompok manusia dikejauhan ini (maksudnya tentu saja kami) bukanlah sebuah ancaman, akhirnya kera-kera ini melanjutkan beraktivitas. Kami memulai menjepret frame-demi-frame. Sungguh banyak yang bisa diabadikan. Ada kera yang hanya duduk sambil makan daun, berteriak diantara mereka sendiri, hingga yang lompat dari pohon ke pohon. Sebagian hasil jepretan kusertakan dalam postingan hari ini.
Sungguh beruntung aku sempat melihatnya. Seorang rekan perjalanan yang mengulangi ke daerah ini beberapa waktu kemudian ternyata tidak mendapatinya lagi. Kelompok bekantan ini tampaknya sudah pindah. Bekantan memang sangat pemalu, sehingga usaha penangkaran hampir bisa selalu dikatakan gagal. Perlu upaya ekstra keras memang untuk menjaga kelestariannya, selain lingkungan penunjangnya harus tersedia, termasuk hutan pohon rambai, juga tidak bisa dilingkungan yang terlalu dekat dengan manusia. Semoga ada pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya pelestariannya dengan lebih serius, seperti yang telah dilakukan kepada jenis kera lain, urang utan. Kalau tidak, dalam sepuluh tahun kedepan bekantan mungkin hanya bisa dilihat sebagai maskot di taman hiburan Dunia Fantasi.***